MULTIINFORMASI.ID || Aceh Tamiang -
Di tengah riuh suara mesin pompa minyak yang tak pernah berhenti berdengung di Desa Dalam, Kecamatan Karang Baru, tersimpan kisah pilu yang sunyi.
Kisah warga yang hidup di bawah bayang-bayang sumur minyak milik negara, namun justru harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan hak atas tanah mereka sendiri.
Sudah empat tahun lamanya, dua puluh empat sertifikat tanah tak kunjung kembali ke tangan pemilik sahnya. Warga yang sederhana, sebagian besar petani dan buruh, kini hanya bisa menatap lahan mereka yang sebagian telah berpindah ke tangan PT Pertamina EP Rantau Field — tanpa kejelasan nasib administrasinya.
“Sudah empat tahun, Pak. Tapi tanah kami belum juga selesai disertifikatkan. Padahal sudah dibeli oleh Pertamina,” keluh seorang warga dengan suara lirih saat hadir di gedung DPRK Aceh Tamiang, Senin, 29 Oktober 2025 lalu.
Luluran "Grease Oil" di Sertifikat Warga
Di ruangan berpendingin udara itu, suasana rapat dengar pendapat berubah tegang. Ketua Komisi III DPRK Aceh Tamiang, Maulizar Zikri, tampak tak bisa menahan kekecewaannya.
Ia mengibaratkan Field Manager Pertamina EP Rantau Field, Tomi Wahyu Alimsyah, seperti “seorang kiper yang pandai membuang badan” (cerminan dari sikap menghindar, tidak mau tanggung jawab, dan menolak menuntaskan persoalan rakyat kecil).
“Proses pengurusan sertifikat tanah sejak tahun 2021 sampai 2025 belum juga selesai. Empat tahun ! Dan ternyata baru dua minggu lalu, Notaris baru menerima dua berkas dari Pertamina,” tegas Maulizar dengan nada getir.
Pernyataannya menggema di ruang sidang, memantul ke hati semua yang hadir. Bukan hanya tentang administrasi yang lamban (ini tentang rasa keadilan yang terinjak).
Luka di Rig Satu Pertamina
Ironi ini semakin terasa pahit karena Desa Dalam dan Desa Suka Jadi adalah rig satu dari wilayah operasi Pertamina Rantau Field. Dari tanah merekalah minyak disedot, dari desa merekalah negara menimba sumber daya yang seharusnya menjadi kemakmuran bersama.
Namun kenyataannya, CSR (Corporate Social Responsibility) yang dijanjikan tak pernah hadir selama tiga tahun berturut-turut. Desa yang menjadi pusat produksi justru dibiarkan kering tanpa program pemberdayaan, tanpa sentuhan pembangunan sosial yang layak.
Anggota DPRK, Irwan Effendi dan Muazzin, menegaskan hal yang sama. “Pertamina ini tidak serius. Warga ring satu seolah diperlakukan sebagai penonton di tanahnya sendiri,” kata Irwan dengan nada kecewa.
Mereka menyoroti bahwa PT Pertamina seolah mempraktikkan kezaliman modern, bukan dengan senjata, tapi dengan kelambanan dan pengabaian terhadap hak-hak rakyat kecil.
Negeri Kaya yang Membiarkan Luka Menganga
Di atas tanah Aceh Tamiang, minyak bumi terus mengalir setiap hari. Namun, yang tak pernah mengalir adalah kesejahteraan yang dijanjikan.
Setiap tetes minyak seolah disedot bersamaan dengan harapan rakyat yang semakin menipis.
Kampung-kampung di sekitar lokasi eksploitasi terlihat tak banyak berubah jalan desa masih rusak, pendidikan minim, dan warga menunggu janji CSR yang tak kunjung datang.
“Dulu kami pikir, dengan adanya Pertamina, kampung kami akan maju. Tapi yang kami dapat malah tanah yang tak jelas, dan janji yang tak ditepati,” ujar seorang Datok Penghulu dengan wajah sendu.
Tak heran jika hampir diseluruh belahan Negara Republik ini yang daerah mempunyai kekayaan alam yang melimpah, justru rakyat disekitar masih hidup dibawah garis kemiskinan. Dan ironisnya terdampak pada nama Kabupaten tersebut sebagai "sematan dari Kabupaten/Kota Termiskin".
Praktik "Bulus" Tarik "Fulus" Haram
PT. PERTAMINA secara umum diberitakan banyak mengalami kerugian baik yang terjadi akibat penurunan penjualan, Fluktuasi Rupiah, Melemahnya Harga Minyak Mentah Dunia, maupun lainnya sehingga dengan angka kerugian ini, menempatkan PT. PERTAMINA berada diposisi atas dalam hal skandal korupsi.
Miris dan aneh, disaat negara atau daerah dengan limpahan minyak yang luar biasa justru berbanding terbalik, angan-angan ingin dapat untuk besar dan mendirikan kilang baru, justru malah menjadi "borok" bagi dirinya sendiri.
Skandal korupsi dalam tubuh PT. PERTAMINA ini tidak saja terjadi secara nasional, namun didaerah juga sangat memprihatinkan, seperti halnya di Kabupaten Aceh Tamiang.
Sekelumit kisah "menggerogoti" uang negara ini mereka lakukan dengan berbagai modus, diantaranya yang adalah, dimana salah satu oknum pegawai teras dalam PT. PERTAMINA dimana saat akan melaksanakan pengeboran pada salah satu sumur minyak kadang kala sering tidak jadi dilaksanakan, dengan alasan sumur tersebut sudah tidak produksi lagi lantas sumur tersebut mereka tutup sementara agar dapat digunakan kembali pada saat tertentu.
"Kamuplase" tidak produksi ini merupakan suatu bentuk laporan ke pimpinan tertinggi PT. PERTAMINA agar tidak dilakukan pengeboran, namun "akal bulus" ini tidak tinggal diam sampai disitu saja, mereka (Oknum Pegawai teras) akan lakukan lembali setelah mereka pensiun dari pekerjaan di PT. PERTAMINA.
Dengan data yang sudah mereka (Oknum Pensiunan Pegawai teras) kantongi, lalu mereka masuk dengan membawa bendera pihak ketiga selaku rekanan untuk melakukan kontrak kerjasama guna mengebor kembali sumur yang mereka tutup sementara itu dan laporkan dahulunya tidak produksi, sehingga dalam bekerja sebagai rekanan mereka akan dinilai berhasil oleh pihak PT. PERTAMINA disumur yang sudah tidak produksi lagi berdasarkan laporan awal. "Licik dan culas" cara mereka untuk menghancurkan PT. PERTAMINA dari dalam demi meraup "fulus haram".
Berbeda lagi cara main sang mekanik profesional, seolah-olah sumur itu ada minyaknya demi "merampok" uang negara ini, beberapa oknum pegawai teras yang sudah "sepakat" dalam satu team, memasukkan cairan yang diduga minyak solar dan campuran lainnya, yang terlebih dahulu diinjeksi dari sumur injeksi, sehingga terlihat pada sumur yang sedang dilakukan pengeboran itu ada minyaknya, padahal itu adalah "minyak suntikan" yang dimasukkan kedalam sumur yang sudah tidak produksi lagi, guna mendapatkan perhatian dan persetujuanuntuk memperoleh "uang haram".
Congratulation, praktik seperti ini dilakukan dihadapan para petinggi PT. PERTAMINA yang bertujuan menyakinkan pihak Petinggi PT. PERTAMINA bisa "percaya" bahwa disumur tersebut ada minyaknya.
Sungguh sangat dzolim, kelakuan para pegawai teras PT. PERTAMINA ini dalam "menipu" pimpinan mereka untuk menghancurkan negara dan perusahaan tempat yang menghidupi mereka selama ini dan rakyat Indonesia secara umumnya.
Ketika Negara Harus Hadir
Kasus ini bukan sekadar soal sertifikat, tapi tentang harga diri dan martabat masyarakat kecil yang menjadi korban ketidakpedulian korporasi pelat merah.
Dalam logika keadilan sosial, kehadiran negara semestinya menjadi pelindung bukan sekadar penonton atas praktik ketimpangan yang mencederai nurani.
Bagi warga Desa Dalam dan Suka Jadi, harapan kini bergantung pada keberanian wakil rakyat dan suara publik. Mereka hanya ingin apa yang sudah menjadi hak mereka, tanah yang sah secara hukum, dan kehidupan yang layak di tengah sumber daya yang melimpah.
Di penghujung rapat, sunyi terasa menekan. Tak ada kata yang lebih menohok selain kalimat Maulizar Zikri yang menggema.
“Empat tahun menunggu, baru dua sertifikat selesai. Sementara sumur minyak terus menyala setiap hari. Di mana hati nurani Pertamina ?”
Dari catatan redaksi, Kasus ini adalah cermin ketimpangan struktural yang masih membayangi hubungan antara perusahaan besar dan masyarakat sekitar tambang. Saat sumber daya alam terus disedot, keadilan sosial seolah tertinggal di dasar sumur minyak. (DJ)
Tags:
Berita/Pemkab