Darurat Narkoba di Myanmar : Bukti Kegagalan di Diplomasi ASEAN?

Oleh : Iqbal Muhammad Fauzani, Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina  
MULTIINFORMASI.ID
ASEAN sering kali memamerkan konsep centrality-nya dengan bangga, seolah-olah mereka adalah dalang yang cerdik di belakang layar geopolitik Asia Tenggara. Tapi lihatlah Myanmar: sementara para diplomat sibuk berdebat di ruang ber-AC, negeri itu justru menjadi pusat produksi metamfetamin terbesar di dunia. Jika ini bukan kegagalan diplomasi, lalu apa namanya ? Sepertinya ASEAN centrality di sini lebih cocok disebut ASEAN absurdity.  

Myanmar bukan hanya darurat politik, tapi juga darurat narkoba. Setiap tahun, ribuan ton metamfetamin mengalir ke seluruh Asia Tenggara dari laboratorium gelap di wilayah yang dikuasai militer dan kelompok bersenjata. ASEAN punya banyak pertemuan, banyak deklarasi, bahkan banyak gugus tugas—tapi sejauh mana itu menghentikan arus narkoba? Jawabannya: hampir tidak ada. Diplomasi mereka seperti orang memakai payung di tengah badai tropis; terlihat sibuk, tapi tetap basah kuyup.  

Masalahnya, ASEAN terlalu sibuk menjaga non-interference principle sambil berharap masalah selesai dengan sendirinya. Myanmar jelas tidak bisa diandalkan untuk memberantas narkoba sendiri, karena sebagian besar produksinya justru melibatkan aktor-aktor yang punya hubungan baik dengan penguasa. Tapi ASEAN? Mereka lebih memilih untuk tidak "mencuci tangan tetangga". Hasilnya, seluruh kawasan jadi korban - termasuk Indonesia, yang terus kebanjiran sabu-sabu dari Golden Triangle.  

Diplomasi ASEAN dalam isu narkoba ibarat seseorang yang mencoba mematikan kebakaran hutan dengan semprotan parfum. Mereka menggelar workshop, pelatihan, dan pertukaran intelijen, tapi ketika sampai pada tindakan tegas terhadap Myanmar, semua tiba-tiba menjadi bisu. Padahal, jika benar-benar serius, ASEAN bisa menggunakan tekanan ekonomi atau sanksi terukur. Tapi tidak, mereka lebih suka rapat-rapat tanpa ujung, sementara sindikat narkoba terus memperluas jaringan.  

Lucunya, ASEAN selalu berkoar tentang community building dan shared responsibility, tapi ketika datang tanggung jawab bersama memberantas narkoba, tiba-tiba semua negara sibuk dengan urusan sendiri. Thailand khawatir dengan ganja legalnya, Filipina sibuk dengan perang narkoba ala Duterte, sementara Indonesia dan Malaysia hanya bisa mengeluh setiap kali kapal pengangkut sabu ditangkap. Solidaritas ASEAN dalam isu ini terasa seperti grup WhatsApp yang aktif hanya saat ada foto makanan.  

Mungkin ASEAN perlu belajar dari warung kopi. Jika ada preman narkoba mengganggu satu warung, tetangga-tetangga akan bergerak bersama mengusirnya. Tapi ASEAN ? Mereka lebih memilih untuk memesan kopi sambil berbisik, "Ini urusan internal sih…" sampai akhirnya seluruh kompleks tercemar. Darurat narkoba di Myanmar seharusnya jadi alarm, tapi ASEAN malah menekan tombol snooze—berharap masalah hilang saat mereka bangun nanti.  

Jika diplomasi adalah seni mencapai sesuatu tanpa konflik, maka diplomasi ASEAN dalam isu narkoba adalah seni menghindari sesuatu tanpa mencapai apa pun. Mereka punya mekanisme, punya forum, tapi tidak punya keberanian untuk bertindak. Sampai kapan? Sampai seluruh Asia Tenggara kecanduan? Atau sampai ASEAN sadar bahwa centrality tanpa aksi hanyalah ilusi ?  

Jadi, apakah darurat narkoba di Myanmar membuktikan kegagalan diplomasi ASEAN ? Jawabannya : Ya, tapi jangan berharap mereka mengakuinya. Lebih mudah bagi ASEAN untuk menyelenggarakan pertemuan lagi daripada benar-benar mengubah sesuatu. Dan selama itu terjadi, para bandar narkoba di Myanmar akan terus tertawa—sambil mengirimkan care package sabu ke seluruh kawasan. Terima kasih,  ASEAN .. !! (*)
SPONSOR
Lebih baru Lebih lama
SPONSOR